Mengenal E-Commerce Lebih Dekat

Saya sering menemui tulisan di internet tentang ecommerce – khususnya toko online – yang menyebutkan bisnis ecommerce  itu murah dan gampang. Benarkah demikian? Mari kita telusuri di mana sisi benarnya, dan di mana sisi kelirunya.

Argumentasi yang menyebutkan bahwa bisnis toko online itu murah biasanya hanya melihat persoalan dari aspek biaya sewa hosting, domain dan pengembangan toko online. Pendapat tersebut bisa benar, juga bisa salah. Pertama, besar kecilnya biaya sewa hosting bergantung pada spesifikasi server yang digunakan. Kebutuhan server tergantung dari besar kecilnya toko online yang dibangun. Toko online seperti bhinneka.com misalnya, tentu saja tidak bisa menggunakan shared hosting. Sebaliknya, jika saya hendak membangun toko online pakaian dengan jumlah 100 SKU (stock keeping unit) produk, perkiraan jumlah pengunjung 250 IP address dan 5 transaksi per hari, tentu saja belum saatnya menyewa dedicated server. Itu artinya, besar kecilnya biaya pengadaan infrastruktur toko online bergantung pada besar kecilnya skala usaha yang dijalankan.

Sebagai informasi, biaya sewa shared hosting dengan kuota penyimpanan data 3,75 Gb berkisar antara 1-1,5 juta rupiah per tahun. Sedangkan untuk dedicated server biaya sewanya berkisar antara 2,5-8,5 juta rupiah per bulan. Bila membeli server sendiri, harganya berkisar antara 17-65 juta rupiah untuk merek IBM. Itu belum termasuk biaya bulanan untuk koneksi, penitipan server (colocation) dan pemeliharaan yang kurang lebih membutuhkan biaya 400 ribu – 4 juta rupiah per bulan, bergantung pada spesifikasi layanan yang diambil.

Kedua, biaya pengembangan toko online bergantung pada kualitas platform ecommerce yang digunakan, fitur (backend untuk admin/penjual dan frontend untuk pengguna/pembeli), dan disain. Paling tidak ketiga hal itu menjadi aspek penentu tinggi rendahnya biaya pengembangan toko online.

Seorang kenalan saya sangat kaget ketika menerima penawaran pengembangan toko online dengan spesifikasi standar (ecommerce dengan fitur transaksi jual beli, report management, customer management, payment dan shipping method, 3 halaman web statis, dan disain) sebesar 20 juta rupiahKekagetannya mendorong dia mencari informasi pembanding ke pengembang lain di Jakarta. Hasilnya dia kecewa. Pengembang satu memberi penawaran dimulai dengan harga 35 juta rupiah. Platform ecommerce yang digunakan Prestashop. Pengembang lainnya membuka penawaran mulai dari 90 juta rupiah. Menggunakan platform ecommerce Magento.

Biaya sebesar itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penawaran Miva Merchant atau Magento Enterprise yang mencapai 145 juta hingga 500 juta rupiah per tahun. Meskipun kemudian Magento mengeluarkan Magento Go untuk usaha kecil – biaya per bulannya berkisar antara 150 ribu hingga 1,5 juta rupiah – tetap tidak bisa dianggap “murah” seperti gambaran banyak orang. Dengan biaya sebesar itu kita baru memperoleh hosting dan platform eCommerce (default), belum disesuaikan (customized) dengan kebutuhan, baru memiliki disain default dan tidak memiliki ekstensi tambahan yang kita butuhkan. Kapasitas penyimpanan produk pun dibatasi. Untuk layanan dengan biaya sewa 150 ribu rupiah per bulan hanya memiliki kuota penyimpanan katalog produk sebanyak 100 SKUs. Sedangkan layanan sewa 1,5 juta (18 juta per tahun) kuota penyimpanan mencapai 10 ribu SKUs.

Biaya pengembangan tersebut jelas cukup tinggi dibanding dengan penyedia jasa pembuatan toko online yang ditawarkan oleh reseller hosting dan domain lokal (berbasis di Indonesia). Biayanya berkisar antara 400 ribu – 1 juta rupiah per tahun. Dengan biaya sebesar itu Anda sudah bisa memiliki toko online dengan kapasitas shared hosting rata-rata 300 mb.

Mengapa begitu timpang biayanya? Apa ada yang salah dengan itu? Jawabannya, tidak. Untuk memahaminya kita perlu melihat karakter kedua penyedia jasa tersebut. Perhatian utama pengembang ecommerce yang sesungguhnya adalah pada pengembangan toko online. Cakupan kerjanya mulai dari penentuan platform ecommerce yang akan digunakan, ekstensi aplikasi web yang akan diterapkan, disain, dan berbagai fitur di backend maupun frontend. Intinya, konsentrasi pekerjaannya terpusat pada bagaimana membangun sebuah toko online yang memenuhi syarat dari aspek teknologi maupun tampilan webnya.

Apa yang dipikirkan dan dikerjakan pengembang ecommerce berbeda dengan para reseller yang menggunakan penawaran jasa pembuatan toko online untuk tujuan menyewakan shared hosting. Biasanya mereka menyediakan satu platform ecommerce dengan disain dan fitur yang sama untuk semua pengguna. Pembedanya hanya di warna banner. Setelah menyewa, pengguna sudah bisa langsung mengaktifkan tokonya.

Sampai pada titik ini keputusan memilih ada di tangan Anda yang mau memiliki toko online. Hal yang penting dicatat, bahwa isu mahal dan murah itu pada dasarnya tidak relevan jika kesimpulannya diambil dari perbandingan kedua penyedia jasa di atas. Sebab, sesuatu bisa disebut mahal jika kita membeli barang kelas tiga dengan harga kelas satu. Sebaliknya, sesuatu layak disebut murah jika membeli barang kelas satu dengan harga kelas tiga. Dan biaya pengembangan toko online sebesar 90 juta rupiah bisa dianggap wajar jika dibandingkan dengan kualitasnya.

***

Hal yang saya ungkap di atas baru pada tataran pengembangan toko online. Sekarang mari kita lihat pada tahap setelah toko online dibangun dan siap dioperasikan. Tahap ini sangat jarang diperhatikan oleh mereka yang ingin memiliki toko online. Para pengembang ecommerce pun banyak yang luput perhatian pada aspek ini, sehingga jarang atau bahkan sama sekali tidak memberi rambu-rambu dan pengetahuan tentang apa saja yang seharusnya dipersiapkan oleh mereka yang mau menjalani bisnis ecommerce.

Toko online memang berbeda dengan toko konvensional. Perbedaan itu bisa dilihat dari banyak sisi. Tetapi, pernahkah kita pikirkan bahwa ada beberapa kelengkapan toko konvensional yang tidak bisa dihilangkan, bahkan justru bertambah ketika kita menjalani bisnis toko online?

Etalase fisik jelas tidak perlu untuk toko online. Tetapi, toko online menuntut substitusinya/pengganti, yakni foto produk. Foto produk harus dibuat. Jika pemiliknya menjaga kualitas citra tokonya, tentu saja foto produk akan dibuat di studio foto, bukan foto alakadarnya menggunakan perangkat kamera handphone. Itu artinya, ada beban biaya untuk pemotretan dan edit foto. Untuk produk pakaian yang menggunakan model orang, ada beban biaya lagi untuk dapat menampilkan produknya di etalase toko online secara profesional.

Untuk memenuhi keingintahuan dan menarik calon pembeli berbelanja, produk pakaian sebaiknya ditampilkan dari beberapa sudut pemotretan. Untuk pakaian umumnya bagian depan, belakang dan samping. Untuk produk sepatu lebih banyak lagi. Depan, samping, belakang, atas dan bawah. Jika satu produk memiliki lebih dari satu warna, maka warna lain harus pula difoto. Ini adalah tuntutan baru yang tidak ada, atau bukan menjadi tuntutan utama toko konvensional.

Toko online sangat mengandalkan visualisasi produk. Sehingga foto produk harus tampil sebaik mungkin. Jika tidak, pembeli yang kritis akan sangat skeptis atas barang yang akan dibelinya. Toko-toko online seperti Esprit, Net a Porter, Uniqlo, H&M, Urban Out Fitter, Shop Bop dan lain-lain sangat memperhatikan hal ini. Beberapa merek lokal seperti Cotton InkShop at Velvet, dan Minimal cukup apik dalam menampilkan produk mereka. Toko-toko online yang berbasis di Indonesia, apalagi di luar Jakarta masih sangat sedikit yang memperhatikan aspek ini. Apalagi ke depan, di saat persaingan ecommerce semakin kuat dan calon pembeli semakin kritis, mau tidak mau aspek ini harus diperhatikan serius.

Soal foto tidak hanya itu saja. Untuk menarik pembeli, toko online dituntut juga memiliki eLookbook dan banner promosi produk baru atau yang diistimewakan. Kebutuhannya antara lain model, stylistfashion photographer, edtor foto dan graphic designer. Walaupun eLookbook dan banner promosi hanya diproduksi di waktu-waktu tertentu, itu menjadi beban biaya tambahan bagi pemilik toko online.

Selain foto, beberapa toko online seperti EspritEileen Fisher dan Salvatore Ferragamo menampilkan produknya dalam bentuk video cat walk. Bisa juga menampilkan video how to wear seperti yang antara lain dilakukan Tie My Scarf dan Cotton Ink.

Untuk sementara waktu, soal video bisa dabaikan dulu oleh para pebisnis toko online baru. Namun, penting untuk dicatat bahwa untuk menampilkan produk yang dapat menarik minat calon pembeli tidak bisa digarap alakadarnya. Bagi produk yang kualitasnya bagus, penggarapan foto produk asal-asalan akan menurunkan nilai barang dan minat calon pembeli. Sebaliknya, produk yang biasa akan tampak lebih menarik dan mengundang minat jika visualnya digarap serius. Paling tidak, dengan foto yang bagus, para pengunjung website merasa betah berselancar di toko online Anda dan kembali lagi untuk berbelanja.

Berdasarkan uraian saya tentang foto produk Anda mungkin sudah bisa memperkirakan berapa beban biaya yang harus ditanggung. Untuk menampilkan satu produk saja dibutuhkan setidaknya tujuh orang tenaga kerja. Fotografer, model, stylist, penata makeup, editor foto, dan graphic designer. Tentu tidak harus menjadikan mereka pekerja tetap. Tetapi semua itu mengandung konsekuensi biaya.

Setelah foto produk dibuat, tahap berikutnya adalah menampilkan foto-foto tersebut di toko online. Pada tahap ini dibutuhkan tenaga kerja web master atau admin website yang berperan dalam proses input produk. Jika Anda pengguna blogspot atau blogger di wordpress yang relatif sudah terbiasa menggunakan content management system, proses input konten produk di toko online tidak sesederhana itu.

Platform eCommerce terkemuka seperti Magento, untuk konten produk standarnya saja memiliki atribut produk dan  field  pengisian data yang relatif kompleks. Dibutuhkan tenaga kerja yang terlatih untuk mengerjakannya. Apalagi jika field dan atributnya sudah disesuaikan dengan kebutuhan, akan semakin kompleks. Misalnya saja field tambahan berisi kolom isian kapan barang masuk, kapan diretur, siapa penerima barang, dan sebagainya.

Jika pekerjaan seperti itu tidak dilakukan sendiri oleh pemilik toko online, maka harus mempekerjakan orang atau mensubkontrakkan pekerjaan tersebut pada orang-orang yang menyediakan jasa input produk. Biayanya biasanya dihitung berdasarkan SKU (Stock Keeping Unit) produk yang diinput. Ada juga yang menggunakan cara berdasarkan lama waktu pengerjaan dengan hitungan per jam.

Dari hasil penelusuran saya di internet, jasa semacam itu mulai ada. Terspesialisasi berdasarkan platform eCommerce yang digunakan dan jenis produk yang diinput. Biaya menginput single product, yakni jenis produk yang hanya memiliki satu ukuran dan satu warna lebih rendah biaya dibanding configurable product yang memiliki ukuran dan warna berbeda-beda. Biaya input produk di toko online berplatform Virtuemart lebih rendah biayanya dibanding di toko online berplatform Magento atau Prestashop.

Perlu dicatat juga, sebelum penginput produk bekerja, pemilik toko online harus terlebih dahulu membuat keterangan produk, seperti deskripsi produk, ukuran, warna, SKU, harga, memilah foto, mengkategorisasi produk dan sebagainya. Tanpa itu semua penginput tidak akan bisa bekerja.

Selain web master, toko online pun membutuhkan cutomer service seperti toko konvensional. Bedanya, customer service toko online haruslah orang yang terbiasa menggunakan komputer, internet, dan tentu saja bekerja di-backend toko online.

Sebuah toko online tidak dengan begitu saja dikenal orang. Harus dipromosikan. Ada banyak cara untuk mengerjakan itu. Bisa dikelola sendiri, entah itu menggunakan perangkat newsletter, social media, broadcast via handphone atau memasang iklan banner di website-website yang memiliki banyak pengunjung, dan lain-lain. Bisa juga menggunakan jasa layanan SEO (Search Engine Optimization) dengan target tampil di halaman pertama Google untuk kata kunci pencarian tertentu. Cara lainnya promosi melalui media sosial. Misalnya dengan mengoptimisasi fitur Facebook dan Twitter.

Penyedia jasa semacam itu sudah banyak tersedia. Tinggal kita memilih penyedia jasa mana yang bisa diandalkan dan terpercaya, mana yang tidak. Biayanya beragaman, bergantung pada spesifikasi layanan yang diambil. Marketbiz misalnya mengenakan biaya 6-35 juta rupiah per tahun untuk SEO nasional, dan 8-40 juta rupiah per tahun untuk paket Combo.

Jika dirinci lagi, kebutuhan untuk bisnis eCommerce masih sangat panjang daftarnya. Bisa kita pilah mulai dari tahap persiapan yang harus dilakukan sebelum produk yang akan dijual masuk toko, proses input produk, pemasaran dan transaksi, pembayaran, pengiriman, dan lain-lain. Semua itu menuntut tim kerja yang solid pada tiap tahapannya. Dan setiap tahapan jika digarap dengan serius senantiasa menambah konsekuensi biaya.

Pemaparan saya di atas adalah gambaran umum tentang bisnis eCommerce. Kita bisa melihat bahwa menjalani bisnis toko online yang serius untuk kepentingan jangka panjang tidak segampang yang sering kita dengar, dan tidak serendah biaya yang orang sering sebutkan. Itu semua adalah mitos.

Sebagian dari Anda mungkin akan membantah pendapat saya dengan mengatakan ada yang menjalani bisnis online dengan modal awal 100 ribu rupiah untuk sewa hosting dan membuat website tetapi berhasil mencapai omset 70 juta per bulan. Bantahan itu untuk sementara bisa diterima, karena memang terjadi. Namun, apakah fakta itu berlaku umum di waktu yang berbeda, pembahasannya akan saya kemukakan di tulisan lain.

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasi di  www.sadikingani.com, 4 April 2012. Beberapa data kemungkinan sudah mengalami perkembangan. Namun, substansinya masih relevan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Hai...

Ingin tahu seputar layanan dan produk kami? Klik icon logo di bawah!

×