Belajar Bisnis Fashion dari Inggris

British Fashion Council menerbitkan sebuah laporan studi yang menelisik faktor-faktor pendorong desainer Inggris meraih sukses. Laporan ini menarik, selain berhasil menunjukkan arti pentingnya membangun sinergi antara kreativitas dan bisnis fashion, juga rekomendasi-rekomendasi yang diajukannya memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.

Mei 2014 lalu British Fashion Council (BFC) menerbitkan sebuah laporan studi berjudul “Commercialising Creativity: Creating a Success Model for British Fashion Designers”. Laporan yang disusun oleh Alejandra Caro dan Alessandra Basso ini bertujuan menganalisis (1) faktor-faktor kunci yang memungkinkan desainer-desainer Inggris berhasil dalam bisnis fashion, (2) mengidentifikasi tantangan terbesar yang mereka hadapi dalam setiap tahapan bisnis, dan (3) saran praktis untuk mengatasinya. Studi ini berangkat dari hipotesis bahwa desainer Inggris memerlukan dukungan bisnis yang kuat untuk meraih sukses secara komersial, baik di Inggris maupun di tingkat dunia.

Analisis dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, melakukan penilaian terhadap praktik-praktik start-up. Kebanyakan desainer fashion Inggris, khususnya pemula, menjalankan semua elemen bisnis sendirian. Umumnya mereka sedikit atau sama sekali tidak memiliki strategi dan pengalaman menjalankan bisnis. Kedua, melakukan penelaahan terhadap tantangan eksternal dan faktor-faktor internal yang potensial menghambat para desainer meraih sukses secara komersial. Ketiga, mengidentifikasi seberapa berhasil desainer fashion Inggris menghadapi tantangan internal dan eksteral dan menentukan pola umumnya.

Untuk itu, Caro dan Basso mewawancarai 19 orang fashion designer (baru maupun yang sudah mapan), 14 ritel, 16 orang advisor, 5 PR (public relation), dan perwakilan media, serta 5 investor. Hasilnya adalah beberapa rekomendasi praktis bagi fashion designer Inggris, BFC dan pemerintah Inggris sebagaimana akan diulas di akhir tulisan ini.

Laporan tersebut menarik. Pertama, selain berhasil menunjukkan arti pentingnya membangun sinergi antara kreativitas dan bisnis fashion, juga rekomendasi-rekomendasi yang diajukannya memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. Gambaran persoalan yang dihadapi desainer-desainer Inggris yang baru memulai bisnis fashion tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi desainer-desainer baru di Indonesia. Paling tidak jika dibandingkan dengan catatan pengamatan saya selama kurang lebih 4 tahun ke belakang.

Kedua, jika laporan kajian BFC tersebut dikaitkan dengan survei peringkat sekolah fashion (lingkup global) yang dilakukan Business of Fashion (BOF) 2016, kita akan menemukan arsiran persoalan yang dihadapi desainer-desainer baru dengan masalah kesenjangan—kreativitas dan bisnis—yang mengemuka dalam pendidikan fashion pada umumnya.

Harapan dan Kenyataan

Selama dua dekade terakhir fashion mengalami perkembangan pesat. Menurut laporan Euromonitor Internasional, tahun 2014 pasar pakaian dan sepatu mencapai nilai 1,7 triliun dolar Amerika, dan diproyeksikan akan tumbuh hingga 2,2 triliun dolar pada 2019 (Kate Abnett, 2016). Terkait dengan itu, minat orang memilih karir di bidang fashion, terutama fashion designer pun terus meningkat. Antara lain terlihat dari semakin meningkatnya jumlah peserta didik sekolah fashion.

“Dalam beberapa kasus, lembaga-lembaga pendidikan berpengalaman mengalami peningkatan pendaftaran hingga tiga kali lipat jumlahnya,” kata  Sara Kozlowski, Direktur Pendidikan dan Pengembangan Profesional, Council of Fashion Designers of America (CFDA), sebagaimana dikutip BOF.

Di Inggris, saat ini ada lebih dari 30 perguruan tinggi dan universitas yang menawarkan program pendidikan fashion dan menghasilkan ribuan lulusan desain fashion setiap tahun (Imran Amed dan Robin Millery-Pratt, 2015). Hal serupa terjadi juga di Indonesia. Sekolah-sekolah fashion yang berbasis di Prancis, Italia, Jepang, dan Kanada mulai menyerbu pasar pendidikan fashion di Jakarta, Surabaya dan Medan. Beberapa perguruan tinggi dan universitas di dalam negeri pun tak ketinggalan mulai membuka program studi fashion design. Termasuk lembaga-lembaga pendidikan non-formal yang menawarkan program kursus fashion design jangka pendek.

Para peserta didik sekolah fashion umumnya sudah spesifik dalam menentukan pilihan pekerjaan setelah menyelesaikan sekolah. Dari sekitar 150 orang siswa sekolah fashion yang pernah saya tanya tentang alasan mereka memilih program studi fashion design, sebagian besar menjawab ingin menjadi fashion designer dan membangun bisnis fashion. Memiliki brand adalah cita-cita hampir seluruh siswa. Hanya satu orang yang tertarik menjadi fashion journalist, dan tiga orang menjadi fashion stylist.

Mengawali jalan menjadi fashion designer melalui sekolah fashion memang tepat. Namun, itu saja tidak cukup. Tak ada jaminan seseorang yang mengecap pendidikan fashion design dengan sendirinya bisa menjadi fashion designer, apalagi pebisnis fashion sukses. Seperti dikemukakan Toby Meadow (2012), Associate Lecturer di London College of Fashion, meskipun setiap tahun ratusan sekolah fashion berhasil meluluskan ribuan peserta didik dengan bakat dan kemampuan teknis yang baik, sebagian besar dari mereka gagal dalam bisnis. Alih-alih menjadi fashion designer, tidak sedikit yang kandas di tengah jalan, atau berakhir menjadi dressmaker.

Menakar Kesuksesan Seorang Fashion Designer

Dalam industri fashion, ukuran sukses seorang fashion designer tidak hanya didasarkan pada kemampuan mendesain pakaian (aspek kreativitas), juga kemampuan mengkomersialkannya (aspek bisnis). “Aspiring designers enter the fashion world to be creative, but regardless of creative genius, fashion is nothing without commerce,” papar Mary Gehlhar, Profesor di Parsons School of Design, New York dalam bukunya “The Fashion Designer Survival Guide” (2015).

Merujuk pada laporan studi BFC, ada tiga hal yang menjadi tolok ukur dalam menilai keberhasilan fashion designer dalam bisnis fashion, yaitu: (1) creative acclaim (pengakuan terhadap kreativitas); communications perception (profil publik dan brand awareness); dan (3) commercial acclaim (jumlah penjualan dan keuntungan yang diperoleh desainer).

Berdasarkan tolok ukur tersebut, ada enam faktor internal dan eksternal yang memungkinkan seorang fashion designer meraih sukses dalam bisnis fashion.

Pertama, bertindak sebagai pebisnis. Artinya, memiliki keinginan dan semangat kewirausahaan; mampu membangun keseimbangan antara kreativitas dan bisnis; memiliki visi dan rencana bisnis yang jelas; menjunjung tingga kredibilitas dan keterandalan dalam menjalankan bisnis; dan senantiasa mengembangkan kemampuan komersial.

Kedua, memahami pengembangan produk. Desainer sukses memiliki brand position, point of view, dan unique selling proposition yang jelas dalam mengembangkan produk. Di awal bisnis mereka fokus pada produk yang ditawarkan, membatasi stock keeping unit (SKU), dan membuat perhitungan harga yang tepat.

Ketiga, memiliki unique brand position yang jelas, didukung dengan rencana pemasaran dan komersial. Pengembangan identitas brand yang ditopang rencana marketing dan komunikasi adalah penting, karena pemasaran dan komunikasi merupakan kunci bagi pengembangan brand. Demikian pula dengan PR dan media. Keduanya harus dijadikan sebagai bagian dari rencana pemasaran yang labih luas. Selain kanal media konvensional, platform-platform media sosial menjadi bagian penting dari kekuatan strategi komunikasi yang memungkinkan dialog langsung dengan pelanggan.

Keempat, mampu mengatasi tantangan produksi. Disainer yang sukses memahami dengan baik proses manufacturing, sehingga mampu membuat langkah realistis dalam kaitannya dengan pihak pabrik yang akan memproduksi pakaian. Pada titik ini investasi dalam bentuk menjaga hubungan baik dengan pihak pabrik adalah kunci. Terkait dengan itu, desainer yang sukses mampu mengatasi tantangan untuk menemukan tempat berproduksi yang handal, baik di dalam maupun di luar negeri. Di samping itu, hal penting lainnya adalah mampu melakukan pembayaran tepat waktu kepada produsen untuk menjamin kelancaran perjanjian produksi di masa-masa berikutnya.

Kelima, dapat menemukan celah penjualan dan distribusi. Artinya, desainer mampu merumuskan strategi penjualan dan distribusi yang selaras dengan brand position. Untuk itu, desainer harus memahami kondisi kontrak kerjasama dengan ritel, distributor, dan agen penjualan. Dalam konteks itu, membangun hubungan baik dan memerhatikan feedback dari buyers adalah penting, karena mereka memahami perilaku pembeli. Hal penting lain yang juga harus diperhatikan adalah melakukan pengiriman produk kepada ritel tepat waktu.

Selain melakukan penjulan melalui ritel, membuka toko dengan modal sendiri bisa menjadi pilihan lain, tetapi bukan satu-satunya pilihan. Membangun toko bisa diupayakan melalui beberapa pilihan investasi, seperti kemitraan atau join venture. Pilihan lainnya adalah melakukan penjualan secara daring (dalam jaringan)/online.

Keenam, memahami soal pendanaan dan pembiayaan. Gap antara pendanaan dan perolehan pendapatan dari penjualan merupakan tantangan utama yang harus dikelola dengan cermat. Desainer harus mengetahui pilihan-pilihan sumber pedanaan serta hal-hal yang menjadi pertimbangan investor dalam memaksimalkan peluang bisnis dan keamanan investasinya.

Tantangan bagi Sekolah Fashion

Setiap tahun ada ribuan anak muda di dunia berbondong-bondong memasuki sekolah fashion bergengsi—yang umumnya berbiaya mahal—di dalam maupun luar negeri. Patokan sederhana yang biasanya dipakai dalam memilih sekolah, selain tawaran fasilitas yang diberikan, juga dengan melihat berapa banyak lulusannya yang meraih sukses. Berbekal mimpi, mereka berharap sekolah akan mengantar mereka menjadi desainer sukses.

Apa yang diharapkan tidak selalu sesuai kenyataan. Sebaik-baiknya Parson School of Design tidak bisa dengan pasti melahirkan 100 March Jacob. “How many people go to Hollywood to be a star and end up waitressing,” demikian Gehlhar menganalogikan betapa tidak mudahnya menjadi fashion designer yang sukses menempuh karir dan berhasil dalam bisnis.

Bagaimana menyiapkan generasi desainer yang siap menghadapi dunia fashion yang kian kompetitif memang tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab sekolah fashion. Namun begitu, banyak pihak, termasuk sekolah fashion mulai menyadari pentingnya melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kurikulum pendidikan fashion agar sesuai dengan tuntutan dan perkembangan industri fashion yang semakin kompleks.

Atas dasar itulah BOF berinisiatif membuat survei peringkat sekolah fashion. Tujuannya adalah memberikan penilaian dan dampak terhadap pertumbuhan di sektor fashion. Hasilnya diharapkan dapat membantu calon siswa dalam menentukan pilihan pendidikan fashion; pegangan bagi universitas dan perguruan tinggi dalam meningkatkan tawaran pendidikan; serta menyediakan sumber daya bagi industri fashion secara lebih luas.

Pelaksanaan survei menggunakan metodologi ketat yang menggabungkan 60 poin data berbeda yang dikumpulkan langsung dari daftar pendek 24 institusi fashion peringkat atas, melibatkan 4.032 siswa dan alumni baru, 88 profesional HR (human resources) dan orang-orang berpengaruh di tataran fashion global, serta analisis BOF terhadap 21 sarjana dan 10 program pascasarjana di seluruh dunia (Imran Amed dan Mellery-Pratt, 2015).

Menurut Amed dan Mellery-Prat, hasil survei tersebut menghasilkan kabar baik sekaligus buruk. Kabar baiknya: siswa secara umum merasa “puas” atau “sangat puas” dengan pengajaran (83 persen), perpustakaan dan materi ajar (83 persen), serta ruang kerja, bangunan dan kampus (76 persen). Kabar buruknya: terdapat kesenjangan yang signifikan antara harapan siswa dengan pengalaman nyata mereka selama menempuh pendidikan dan setelah lulus. Banyak siswa kurang puas dalam hal dukungan pencarian pekerjaan dari sekolah. “Sekolah hebat, sorotan hebat, tapi nol dalam memberi bantuan setelah itu,” demikian kata salah seorang alumni Central Saint Martins, sebagaimana dikutip Amed dan Mellery-Pratt.

Hanya 57 persen dari 4.032 siswa dalam disurvei yang merasa puas atas layanan karir yang disediakan sekolah; 53 persen merasa puas dengan acara-acara berjaringan dan 49 persen merasa puas dengan kualitas perekrutan di kampus. Selebihnya banyak siswa yang merasa kecewa dan memutuskan mengambil pekerjaan di luar bidang fashion, atau tidak mencari pekerjaan sama sekali. Dengan biaya kuliah BA rata-rata 18.000 dolar Amerika per tahun dan kuliah MA rata-rata 23.000 dolar Amerika per tahun, siswa jelas mengharapkan keuntungan dari investasi yang tidak murah ini.

Menurut data statistik yang dihimpun CFDA dan Departemen Pendidikan Amerika, pada 2013 tercatat ada 17.370 pekerjaan sebagai fashion designer di Amerika. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar 10 persen dari total lapangan pekerjaan yang dimasuki oleh sarjana lulusan fashion design. Itu artinya, setiap tahun sektor fashion Amerika harus menyediakan ruang untuk 1.700 lulisan desain fashion baru, yang hal itu tampaknya tidak mungkin bisa dipenuhi (Amed dan Mellery-Pratt, 2016).

Kenyataan serupa terjadi juga di Inggris, tempat tujuh dari total lima puluh sekolah fashion peringkat atas dunia versi BOF. Menurut data yang dihimpun Graduate Prospects, hanya satu dari tujuh sekolah berbasis di Inggris yang siswa desain fashion-nya lulus tahun 2014 bekerja sebagai desainer, sisanya bekerja di ritel, pemasaran, penjualan dan administrasi. Meskipun lebih dari 85 persen lulusan fashion design berhasil mendapatkan pekerjaan penuh-waktu, kebanyakan dari mereka tidak bekerja sebagai desainer (Amed dan Mellery-Pratt, 2016).

Berikut adalah daftar 15 sekolah fashion peringkat atas dunia versi BOF 2016:

1. Central Saint Martins, London, Inggris.
2. Kingston University, London, Inggris.
3. Aalto University, School of Arts, Design and Architecture, Helsinki, Finlandia.
4. Royal Academy of Fine Arts Antwerp, Antwerp, Belgia.
5. Parsons School of Design, New York, Amerika Serikat.
6. Fashion Institute of Technology, New York, Amerika Serikat.
7. London Collage of Fashion, London, Inggris.
8. Bunka Gakuen, Tokyo, Jepang.
9. Polimoda, Florence, Italia.
10. Shenkar College of Engineering, Design and Art, Ramat-Gan, Israel.
11. Drexel University, Philadelpia, Amerika Serikat.
12. University of Westminster, London, Inggris.
13. University of Brighston,Brighton, Inggris.
14. Stephens College, Columbia, Amerika.
15. Esmod Internasional, Paris, Prancis.

 

Menjembatani Kreativitas dan Bisnis

Di era start-up dan iklim kewirausahaan seperti sekarang, membangun brand sendiri adalah salah satu pilihan yang bisa diambil oleh lulusan sekolah fashion. Tinggal pertanyaannya: apakah pendidikan fashion yang ada sekarang dirancang untuk memenuhi kebutuhan itu? Apakah sekolah fashion memang diarahkan untuk melahirkan fashion designer sekaligus pebisnis fashion?

Menanggapi hal itu ada beberapa pendapat yang mengemuka. Satu pihak menyatakan bahwa tugas utama sekolah fashion adalah mempertajam kreativitas, bukan membekali keahlian bisnis. Dries Van Noten and Martin Margiela misalnya, berpendapat bahwa kemampuan bisnis bisa diperoleh setelah menyelesaikan sekolah, baik melalui pelatihan maupun belajar dari pengalaman kerja. Menurut mereka, ketika seorang lulusan sekolah fashion dipekerjakan oleh Balenciaga atau Dior, itu karena kreativitasnya, bukan karena keterampilan bisnisnya.

Pandangan lain menyatakan, tidak cukup hanya itu, karena seorang desainer harus juga memiliki kemampuan bisnis. Sebab, menurut Danilo Venturi, Dekan Polimoda Institute of Fashion Design and Marketing, tugas sekolah fashion adalah mendidik seorang desainer yang mampu membuat koleksi sekaligus memperdagangkannya. Hal itu senada dengan langkah yang diambil Parsons School of Design yang sejak tiga tahun lalu memasukkan kurikulum bisnis sebagai mata pelajaran wajib dan pilihan.

Selain kedua pendapat tersebut, cara lain agar peserta didik sekolah fashion memahami bisnis, mereka harus terlibat langsung di lapangan. Kerja magang adalah salah satu cara yang bisa ditempuh untuk memberikan pengalaman non-teori. Seperti diakui Christopher Kane dan Alexander Wang yang sempat magang di Barneys New York, pengalaman di lapangan memberi mereka banyak pelajaran. Namun, cara tersebut bukan tanpa tantangan. Jika tidak tepat memilih, tidak sedikit yang kerja magang tidak memperoleh apa-apa—karena tidak banyak diberi peran—dan terjebak pada pembuatan “copies dan coffeee”.

Agar kreativitas dan bisnis bisa tetap sejalan, beberapa desainer menempuh cara dengan mempekerjakan tenaga eksekutif untuk mengelola bisnis. Namun, itu pun tidak bebas tantangan. Memilih orang dengan kemampuan dan bisa bekerjasama dengan baik tidaklah mudah. Karena itu, menurut Patricia Romatet, direktur pendidikan di Institut Français de la Mode, seorang desainer perlu memiliki pengetahuan dasar tentang industri fashion, sehingga bisa memilih orang-orang yang tepat dan bisa bekerjasama dalam mengelola bisnis.

Walaupun terdapat pro dan kontra, tampaknya semua sependapat bahwa seorang fashion designer dituntut memiliki kreativitas tinggi juga kemampuan bisnis. Seperti diakui Tommy Hilfiger, memang sulit menjadi desainer sekaligus pengusaha. Tapi mau tidak mau harus dijalani, karena sebagai desainer tidak bisa memilih salah satunya.

Catatan Penting untuk Kita

Dalam satu kesempatan saya pernah bertanya kepada seorang desainer baru tentang pengalamannya tampil di Jakarta Fashion Week. “Lelah dan pusing,” kata dia. “Sepuluh menit senang, selebihnya pusing.” Saya pikir itu jawaban jujur. Karena sejak dari menyiapkan koleksi hingga tiba di hari pelaksanaan fashion show tenaga dan pikirannya dipaksa untuk selalu fokus ke situ.

Jika rasa lelah dan pusing itu adalah konsekuensi logis dari keputusan dan pertimbangan bisnis yang terukur, tentu sepadan untuk dihadapi. Siapa menanam, dia menuai. Tetapi tidak sedikit yang justru berangkat dari mimpi dan ilusi “Idolism” untuk meraih pupularitas secara instan. Padahal jauh-jauh hari Gehlhar (2015) sudah mengingatkan, “jika kamu melakukan ini—menjadi fashion designer-ed—hanya untuk menjadi terkenal, lupakan itu. Dunia fashion menuntut kerja keras, kedisplinan, ketekunan dan hasrat yang kuat. Tidak ada rumus ajaib untuk meraih sukses. Dan sekalipun desainer bisa belajar dari yang lain, dia harus menemukan jalannya sendiri.”

Dengan naif saya pernah berpikir bahwa hal seperti itu hanya terjadi di Indonesia, negara yang tergolong pinggiran dalam soal fashion. Dalam kenyataannya, negara-nagara yang memegang peran penting dalam percaturan fashion dunia, seperti Inggris dan Amerika pun masih menghadapi persoalan serupa dan tengah berupaya mengatasinya. Dan seperti sudah disinggung muka, studi yang dilakukan BFC adalah salah satu upaya untuk menjawab persoalan tersebut.

Berdasarkan hasil studi BFC, ada beberapa rekomendasi praktis yang bisa dijadikan pelajaran sekaligus diterapkan oleh desainer-desainer muda Indonesia yang hendak mendirikan brand dan memulai bisnis fashion.

Mengacu pada faktor-faktor internal dan eksternal yang menjadi pendorong keberhasilan seorang fashion designer, rekomendasi yang dikemukakan BFC di bawah ini dapat dijadikan pelajaran sekaligus dipertimbangkan untuk diterapkan.

Pertama, sejak awal seorang fashion designer harus sudah memiliki point of view yang jelas dan mengartikulasikannya ke dalam unique selling position secara jelas pula guna mengembangkan identitas brand yang kuat. Merumuskan strategi jangka panjang dan menyiapkan rencana bisnis, termasuk rencana pemasaran dan komunikasi tahunan.

Kedua, membangun jaringan profesional untuk pengembangan bisnis di tingkat lokal maupun global.

Ketiga, ambil pendekatan strategis dalam pengembangan produk. Pahami dengan baik masalah rantai nilai, pengoperasian bisnis, serta penentuan harga dengan memperhatikan saran dan pendapat dari buyers dan ritel, sehingga kreativitas yang dihasilkan berdaya jual.

Keempat, ‘seni penjualan’ adalah kunci. Karena itu, seorang desainer harus melibatkan tenaga ahli penjualan, melakukan pengawasan rutin terhadap penjualan, dan menjalin hubungan strategis dengan pihak ritel yang melibatkan pelanggan guna memperoleh feedback pasar.

Kelima, seorang desainer harus terus mengembangkan pemahaman terhadap berbagai proses manufacturing yang ada, sehingga bisa memilih supplier secara cermat dan mengantisipasi potensi-potensi masalah yang mungkin timbul. Buatlah standar kualitas manufacturing yang tinggi, dan lakukan pembayaran tepat waktu.

Keenam, pahami berbagai sumber pendanaan dan pembiayaan eksternal untuk menopang keberlangsungan bisnis. Pastikan juga bahwa struktur dan kondisi investasi yang dibuat sesuai dengan kebutuhan bisnis.

Foto: BFC dan Sadikin Gani

Anda punya pertanyaan atau tanggapan atas artikel di atas, sampaikan pada kami! No Fields Found.

Topik Terkait

×

Hai...

Ingin tahu seputar layanan dan produk kami? Klik icon logo di bawah!

×