Desainer Harus Memahami Sejarah Fashion

Fashion mencakup perubahan, kebaruan, konteks waktu, tempat dan pemakainya. Melalui sejarah kita bisa belajar hal-hal tersebut dari waktu ke waktu yang berguna sebagai pedoman dalam menghadapi tantangan dan peluang bisnis fashion saat ini dan di masa depan.

Seorang desainer selayaknya memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang sejarah fashion. Bukan untuk menghapalkan peristiwa-peristiwa masa lalu, tetapi memahami pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut terhadap perubahan fashion dari waktu ke waktu. Bukan hanya perubahan desain, siluet, estetika, material, warna dan hal-hal yang berhubungan langsung dengan pakaian (bentuk konkret fashion), juga konteks jaman yang memengaruhinya—sosial, budaya, ekonomi dan politik. Melalui sejarah kita bisa memahami fashion cyclefad, trend, classic—dari waktu ke waktu, serta faktor-faktor yang membentuknya.

Inspirasi yang mendasari kerja kreatif seorang desainer bukan datang dari langit, tapi lahir dari pengalaman pancaindra. Baik pengalaman langsung maupun tidak. Sejarah adalah sumber inspirasi yang sangat kaya. Dengan melihat sejarah, kita bisa terhindar dari pengulangan sia-sia—membuat hal yang sama. Kita justru ditantang untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Jika Anda mengambil inspirasi pakaian tradisional Jepang (kimono) misalnya, maka yang selayaknya Anda kerjakan bukan menjiplaknya sedemikian rupa, tetapi mengembangkannya menjadi sesuatu yang baru. Anda ditantang untuk menampilkan inspirasi yang mendasari karya Anda, sekaligus ide-ide baru yang dituangkan dalam karya Anda itu. Tanpa kebaruan, tak ada artinya.

With one eye on the past, I walk backward into the future.

— Yohji Yamamoto —

Tapi itu belum cukup, karena sukses tidaknya seorang desainer bukan diukur dari kemampuannya membuat karya hebat. Seorang desainer dinilai sukses jika mampu menjaga keseimbangan antara kreativitas dan bisnis.

Eksistensi merek-merek high-fashion—seperti Chanel, Dior, Prada, Louis Vuitton, dan merek-merek yang setara dengan itu—hingga merek-merek dalam kategori high-street—seperti H&M, Zara, Forever 21, Topshop, Esprit dan sejenisnya—tak mungkin berkembang dan bertahan jika tidak ditopang oleh kepiawaian mereka dalam menjalankan bisnis. Dari pengalaman mereka itulah kita bisa belajar, tidak saja bagaimana sepak terjang mereka dalam menjalankan bisnis, juga pasang surut dalam mempertahankan eksistensinya. Inovasi-inovasi apa saja yang mereka buat untuk menjaga kelangsungan hidup sekaligus memperbesar bisnisnya.

Luciana Zegheanu (2014) mencatat bahwa fashion adalah pantulan (reflection) perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik di masyarakat. Apa maknanya bagi bisnis fashion yang akan atau sedang kita kerjakan sekarang? Lantas apa kaitannya dengan upaya menyeimbangkan kreativitas dan bisnis?

Pertama-tama kita harus sadar bahwa pakaian—bentuk konkret dari fashion—berhubungan erat dengan kehidupan manusia, karena hanya manusialah yang berpakaian. Di masa-masa awal peradaban manusia, pakaian yang umumnya terbuat dari kulit binatang dan kayu hanya berfungsi sebagai alat pelindung tubuh dari dingin dan panas. Dalam perkembangan, karena manusia adalah makhluk berpikir—karena itu berbudaya—fungsi pakaian yang mulanya sebagai pelindung tubuh berkembang menjadi sesuatu yang mengandung berbagai nilai, seperti keindahan, kenyamanan, formalitas, status sosial, kebebasan, keeksentrikan, hingga pemberontakan (Marie Fogg, 2013).

Those who don’t learn from history are doomed to repeat it. Within the frame of fashion, those who don’t learn from history are doomed to waste a wealth of inspiration.

— Jay Calderin —

Di sisi lain, cara orang memeroleh pakaian pun terus berkembang. Mulanya setiap keluarga membuat pakaian untuk kebutuhan sendiri. Kemudian berkembang cara barter atau pertukaran antarbarang. Setelah manusia menemukan alat tukar uang, dan pekerjaan manusia menjadi semakin terspesialisasi berdasarkan keterampilannya, cara memeroleh pakaian pun berubah. Pada era inilah muncul pembuat pakaian untuk melayani permintaan perorangan (made to order). Perannya tidak jauh berbeda dengan tukang jahit di jaman sekarang. Profesi seperti ini lazim disebut dressmaker.

Seiring dengan meningkatnya jumlah manusia serta kemajuan ekonomi dan hubungan perdagangan yang kian meluas—ditopang kemajuan teknologi dan alat transportasi—pembuatan pakaian pun mengalami perubahan dan jangkauan pemasaran yang kian meluas. Pembuatan pakaian tidak lagi ditujukan untuk melayani permintaan perorangan, tetapi untuk kebutuhan banyak orang. Muncullah apa yang disebut ready-to-wear. Pakaian yang diproduksi secara massal dalam berbagai ukuran seperti yang biasa kita kenakan sekarang. Diikuti dengan berkembangnya toko-toko pakaian yang menjual berbagai jenis dan merek pakaian. Sampai di sini cukup jelas kiranya mengapa seorang desainer perlu memahami sejarah fashion.

Pertanyaannya kemudian: hal-hal apa saja yang sebaiknya dipelajari lebih lanjut diletakkan dalam konteks bisnis fashion?

Sebagai hasil dari perkembangan masyarakat, fashion senantiasa mengandung perubahan, kebaruan, serta konteks waktu, tempat, dan pemakainya (Blumer, 1969). Aspek-aspek itulah yang sebaiknya dipelajari dan dikaji secara mendalam sebagai bahan menghadapi berbagai peluang dan tantangan bisnis fashion saat ini dan di masa yang akan datang. Sebagai contoh, jika Anda menyukai Chanel atau Dior, maka yang penting Anda pelajari, bukan hanya rancangan dan perkembangan desainnya, juga pasang-surut bisnisnya dari masa ke masa.

Melalui sejarah, kita bisa belajar tentang keberhasilan dan kegagalan di masa lalu, yang berguna sebagai cermin dalam menghadapi tantangan dan peluang bisnis fashion saat dan di masa yang akan datang. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan sebuah brand sehingga mampu bertahan, atau sebaliknya, adalah sumber pengetahuan yang berguna bagi seorang desainer hendak mengembangan brand sendiri.

***

Anda punya pertanyaan atau tanggapan atas artikel di atas, sampaikan pada kami! No Fields Found.

Keterangan: Herbert Blumer, “Fashion: From Class Differentiation to Collective Selection”, The Sociological Quarterly 10, No. 3 ,1969. Jay Calderin, Fashion Design Essentials: 100 Principles of Fashion Design, 2011. Luciana Zegheanu, Fashion Trends’ Impact On Society, 2014. Marie Fogg, Fashion The Whole Story, 2013;. Yohoji Yamamoto salah seorang desainer fashion berpengaruh asal Jepang. Berbasis di Jepang dan Paris. Dia dinilai sebagai ‘a master tailor’, setara Madeleine Vionnet.

 

Topik Terkait

 

×

Hai...

Ingin tahu seputar layanan dan produk kami? Klik icon logo di bawah!

×